Masa Transisi Agama

Dekat dengan Tuhan. Begitulah sekiranya kunci kehidupan bagi saya saat itu.

Namun, semakin mengerti agama, semakin membuat saya peka akan pertanyaan-pertanyaan yang lambut namun pasti membentuk pemikiran lain dalam diri saya.





Sosok Theis Dalam Hidupku

Menjalani kehidupan yang boleh saya katakan sebagai makhluk yang cukup sosial, membuat saya banyak mengamati fenomena sekitar, dan banyak berfikir.

Keimanan saya pun sejak masa SMA hingga Masa Kantoran bisa dikatakan naik turun. Kadang saya bisa sangat jauh dari Tuhan, kadang anda akan menemukan saya teramat mencintai Tuhan dan ingin berusaha menjadi Manusia yang dicintai Nya.

Ada yang menarik saat masa SMA, saya berkenalan dengan Iksan, yang sekarang menjadi sahabat karib saya. Iksan seorang muslim yang sangat dekat dengan agamanya. Ia juga seorang ustadz. Dan kami selalu mendiskusikan benyak hal tentang agama. Saya selalu dapat ceramah agama dari Iksan. Menentramkan, memperkuat iman, namun,,..tetap tidak dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan saya akan tuhan.

Bukan karena Iksan tidak ahli dalam bidang agama. Oh,..ia sangat amat menguasai agama. Saya sangat bangga bisa menjadi sahabat seseorang seperti dia. Mengerti agama namun tetap bersahaja.
Bukan karena Iksan yang tidak bisa membimbing saya. Namun memang ada sesuatu yang mendasar dan berakar di otak saya.

Sosok Atheis Dalam Hidupku

Masalah dalam hidup silih berganti, namun itu masih belum bisa membuat saya ingin meninggalkan Tuhan. Kejenuhan dalam hidup menghampiri, namun itu juga belum dapat menggoyahkan keimanan saya kepada Tuhan.

Namun anehnya, saya selalu diliputi pertanyaan-pertanyaan tentang ketuhanan. (Anda dapat membacanya dalam Kategori My Question ). Pertanyaan yang belum dapat dijelaskan, dan sangat mengusik. Saya coba untuk abaikan, namun rasanya sangat tidak tertahankan.

Saya merasakan hambar. Menjalankan ibadah hanya karena perintah dan tidak bisa menerima sosok tuhan sepenuhnya karena terbentur pertanyaan-pertanyaan tentang ketuhanan tersebut. Saya merasa seperti zombi yang lemah. Dan saya benci jati diri seperti itu.

Tibalah saatnya saya masuk pada tahun 2014. Saya kebetulan dapat kantor baru yang jauh dari rumah dan mengharuskan untuk kost. Pada masa itulah saya mengenal sosok JN, seorang Atheis Agnostic. Saya tau ia seorang agnostic dari awal kenal, namun baru pada bulan ke 4 perkenalan kami lah saya berani mengajak JN berdiskusi tentang agama.

Saya masih menempatkan diri sebagai seorang muslim pada saat itu. Niat saya hanya satu : Kepastian Pilihan Hidup ! Saya membuat pernyataan untuk diri sendiri, "Jika ingin menjadi seorang Theis, jadilah Believer yang sejati, jangan lagi menjadi theis semu. Jarang memiliki kesadaran untuk beribadah, dan kurang rasa kecintaan terhadap Tuhan."

Berdiskusi dengan JN membuat saya seperti melihat sebagian diri saya yang selalu coba untuk menutupi sebagian yang lain. Ya, kepura-puraan. Berpura-pura beragama, namun hati dan pikirannya tidak. Hanya lisan dan perbuatan, namun masih menyimpan tanya.

Untungnya JN seorang Atheis yang Agnostic. Cara berfikir dan bicaranya tidak terkesan arogant. Itu yang membuat saya nyaman berdiskusi tanpa harus takut terbawa arus. Saya menjadi bebas menentukan pilihan tanpa intervensi siapapun. Walau pada prosesnya, meilbatkan banyak hal dan orang, namun pilihan meninggalkan agama, saya ambil dengan kesadaran sepenuhnya.

Pilihan Hidup

23 Tahun menyandang agama Islam sebagai ajaran hidup, dan membuat saya menjadi manusia yang tergolong "Baik" dalam artian standar, memang. Menjelang pergantian umur menjadi 24 tahun, saya masih belum dapat meninggalkan agama. Namun saya bertanya pada diri sendiri, "Apabila telah ditemui berbagai pertanyaan yang bertentangan dengan keyikan mu, mengapa masih mengimani? Apa sebenarnya ketakutan terbesarmu, Desi?"

Ketakutan? ya..itu faktor terbesar ketidakmampuan saya memilih. Takut akan lingkungan sosial yang beragama. Takut akan tanggapan keluarga dan teman. Dan terpenting, takut akan konsep Neraka.

Ketakutan itupun sempat diutarakan JN saat mengetahui saya akan menanggalkan gelar Muslim. Ia tidak takut jika orang lain menuduh ia sebagai dalang keputusan saya. Yang ia takutkan justru tentang saya. Tentang konsekuensi pilihan ini bagi kehidupan pribadi saya. Tentang kesiapan saya.

Dua hal yang ia tanyakan;

JN       : "Apa kamu benar-benar siap kalau nanti ternyata benar-benar ada neraka? "
Saya   : "Probabilitas Theis dan Atheis itu sama. Kalau nanti benar-benar ada neraka, pasti saya juga akan merasa tersiksa. Tapi setidaknya saya akan menyalahkan diri sendiri, bukan menyalahkan agama. Iya kalau agama yang saya pilih benar. Kamu saja tau, agama di bumi ada lebih dari 400 nama dan bentuknya. Bagaimana kita tau mana agama yang benar-benar dari Tuhan? Terlebih konsep neraka saja kita sama-sama tidak percaya. Jadi, saya akan terima apapun konsekuensinya"

JN         : " Apa kamu siap dengan masa depan kamu? Bagaimana kalau tidak bisa menikah? "
Saya    : " Menikah saya yakini bukan hanya ajaran agama, tapi naluri manusia. Tanpa agamapun saya akan tetap menikah. Ya, memang harus menemukan pasangan yang benar-benar bisa menerima status saya, namun itu bukan hal yang mustahil. Nothing impossible in this world"

Well, so that's happened. Saya dengan tegas memilih untuk meninggalkan gelar saya sebagai seorang muslim, meninggalkan kepercayaan saya kepada Tuhan Allah dalam agama islam.

Namun apakah saya serta merta memilih menjadi atheis? Tidak. Saya bahkan tidak ingin menjadi atheis. Lalu, apa yang saya pilih?

(Anda bisa membaca ulasan lebih lengkap di Agnostik, Pilihan Terbaikku )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar